0 Comments
Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Riau setiap tahunnya mengadakan kegatan camping yang kali ini memilih Desa Tanjung Belit yang terletak di Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar sebagai lokasinya. Desa ini sudah terjamah oleh dunia perkemahan sebelumnya karena letaknya yang masih asri dan dekat dengan Air Terjun Batu Dinding. Jarak yang ditempuh untuk sampai di Desa Tanjung Belit ini adalah 4 jam dari Pekanbaru, dan harus berjalan kaki lagi untuk menuju lokasi perkemahan yang tidak dapat dilalui oleh kendaraan roda 4 selama 30-40 menit. Walaupun cukup lama berjalan, pemandangan yang disuguhkan sudah cukup membayar letih yang diderita. Aliran air sungai kampar yang mengalir tidak begitu deras dan air yang cukup dingin. Tidak hanya berkemah, tetapi banyak kegiatan yang dilakukan disana, dari bermain games hingga malam api unggun dan ditemani oleh alunan gitar klasik dengan lagu yang tidak mengusik ketenangan. Selama 3 hari kegiatan ini berlangsung dan seperti tidak ingin pulang rasanya. Api unggun menyala di malam hari yang dingin, mencoba menepis rasa dingin dan rasa rindu akan hiruk pikuk kota. Membuat siapapun yang erada disana ingin menjadi warga desa saja karena keasriannya yang sangat terjaga. Keesokan harinya Air Terjun Batu Dinding menjadi tujuannya sebelum pulang. Dengan kurun waktu 30 menit dengan berjalan kaki kembali terbayar dengan sepantasnya. Air terjun yang masih mengalir dan asri serta air yang sejuk menjadi tempat pemaindian terakhir karena tidak ada waktu untuk mandi sebelumnya. Setelah asik bermain air, kami sempatkan untuk mengabadikan foto bersama sebelum kembali ke rutinitas sebagai warga perkotaan. Dengan berkemah kamu dapat mengerti arti lelah dan siapa yang benar-benar temanmu.
Bagaimana kamu menghabiskan waktu liburan kamu dengan keluarga atau teman terdekatmu? Apakah makan bersama di rumah? Atau pergi ke tempat rekreasi? Disini saya menyarankan Alam mayang sebagai tempat wisata yang bisa kamu pilih untuk menghabiskan waktu bersama keluarga ataupun teman terdekat kamu. Taman Wisata Alam Mayang ini berada sangat strategis di pusat kota tepatnya di Jl. H Imam Munandar KM. 8 Kelurahan Tangkerang Timur, Kecamatan Bukit Raya, Kota Pekanbaru, Riau. Terakhir kali saya mengunjungi Taman Wisata Alam mayang adalah tanggal 2 bulan Mei 2017. Sudah cukup lama tidak mengunjunginya dan saat itu saya melihat banyak permainan baru dan spot spot strategis untuk foto. Contohnya gambar di atas. Patung tersebut baru berdiri pada tahun 2016 lalu.
Taman Wisata Alam Mayang memiliki danau-danau buatan yang biasa digunakan untuk permainan air dan memancing. Tidak heran taman wisata ini sangat digandrungi oleh pria dewasa yang memiliki hobi memancing. Alam mayang juga memiliki banyak pohon tinggi yang membuatnya tidak panas dan gersang sehingga banyak orang-orang yang membentangkan tikarnya untuk sekedar makan siang atau berpiknik disana. Pada tahun 2015 lalu saya sangat rutin mengunjungi Alam mayang setiap 3 bulan sekali untuk sekedar berpiknik dengan teman-teman saya yang sudah sangat jarang bertemu satu sama lain. Nah, di bulan Mei 2017 lalu lah kami kembali melakukan piknik disana. Jangan khawatir apabila anda tidak membawa alas duduk atau tikar, disana sudah ada tempat penyewaan tikar dengan meninggalkan ktp/ kartu identitas lainnya sebagai penjamin. Tikar tersebut disewa dengan harga yang murah yakni seharga 10.000 rupiah. “Kak, gimana sih caranya biar bisa kritis kayak Kak Gita?“
“Kak, gimana caranya Kak Gita bisa banyak tau tentang macem-macem?“ “Kak, biasanya Kak Gita baca berita di mana?“ “Kak, gimana sih cara Kak Gita baca berita gitu? Liat di mana? Kak Gita kan sibuk kuliah.“ Pertanyaan di atas adalah beberapa dari pertanyaan lucu yang sering gue dapatkan dari orang-orang di internet. Not just funny, but until now these questions remain unanswered since I am still not able to respond to any of them. Sejak beberapa tahun belakangan ini kayaknya pengguna internet di Indonesia makin meningkat. Mungkin karena makin lama harga smartphone dan harga kuota internet makin terjangkau, aksesnya pun jadi makin mudah. Nggak cuma di Indonesia doang kayaknya. Di belahan dunia lain orang-orang juga makin melek internet. Tua, muda, tinggal di kota, di desa, semua udah familiar dengan internet. Konklusi yang gue dapet? Kemajuan teknologi nggak lantas membuat masyarakat Indonesia mengubah tabiatnya. Nggak nyambung. Okay, let me explain it to you. Mungkin buat beberapa orang internet semacam savior kali, ya. Dari yang biasanya cuma punya TV atau buku sebagai sumber informasi, sekarang tinggal buka laptop/pc/hape dan cari informasi yang kita mau. Dulu orang-orang rantau macam gue mungkin sebelum ke luar negeri harus diajarin dulu cara masak sama nyokapnya. Sekarang tinggal cari resep dan ikutin langkah-langkahnya. Dulu mahasiswa harus banget pinjem buku di perpustakaan. Sekarang dengan bantuan Wikipedia kita bisa dapetin gelar sarjana. Lo pernah denger nama “Julius Yego”? He’s an athlete from Kenya, javelin thrower, a great one to be exact. Dia kemaren berpartisipasi di olimpiade Rio. Gimana cara dia belajar jadi atlit javelin? Lewat YouTube. Mengetahui begitu banyak hal yang bisa kita pelajari di internet, pertanyaan-pertanyaan di atas jadi terlihat invalid. But you see my point? Kemajuan teknologi nggak lantas membuat masyarakat Indonesia mengubah tabiatnya. Kalo lo tanya ke gue kenapa Indonesia, walaupun udah berkali-kali upacara 17 agustusan, sampe sekarang tetep nggak maju-maju, jawabannya adalah karena orang Indonesia itu pemalas dan nggak ada inisiatif. Semua-muanya harus dikasih tau, harus dicekokin, harus disuapin. Mungkin untuk negara maju dengan adanya internet segala urusan mereka bisa sangat terbantu, tapi nyatanya nggak buat negara kita. Terlebih anak mudanya, ya. Karena sekarang banyak konten-konten tutorial bermunculan, dari tutorial makeup sampe tutorial ngangetin makanan di mikrowave, mereka pikir semua aspek di dalam hidup juga harus ada tutorialnya. What does it lead to? Daripada buka browser, mengetik apapun pertanyaan mereka di search engine, dan pilih-pilih sendiri artikel yang mau dibaca, mereka lebih seneng nanya orang random di sosial media–disuapin langsung jawaban atas pertanyaan mereka. Oh, I know what I’m talking about. Pernah ditanya orang gimana cara ngilangin rasa malas? Pernah ditanya orang 1 euro berapa rupiah? Pernah ditanya orang harga tiket pesawat dari Jakarta ke Berlin? Gue sering. Internet adalah jendela dunia. Sorry, but it doesn’t apply to my country. Internet membuat masyarakat Indonesia makin lumpuh, makin nggak ada rasa ingin tau (tapi anehnya rasa ingin tau terhadap kehidupan orang lain malah makin tinggi. Di situ lah kata “kepo” muncul), makin nggak bisa menjadi diri yang indepedent, dan makin jauh dari ekspektasi. Internet nggak membuat orang Indonesia jadi pintar. Thanks to the internet barusan gue jadi tau kapan sebenernya internet masuk ke Indonesia. Despite keberadaan internet yang ternyata sudah dari awal tahun 1990an banyak dari kita yang masih nggak tau kalau dunia maya itu (bisa jadi) lebih luas dari dunia nyata. Banyak dari kita yang masih nggak sadar kalau internet bukan sekedar sosial media. Internet bukan cuma berisi tentang info orang yang lagi lo kepoin. Internet bukan cuma diisi sama online shop. Tapi mengingat tabiat jelek orang Indonesia yang gue sebut di atas, gue pun nggak heran dengan kenyataan yang ada. Se-triggered-nya gue dengan pertanyaan 1 euro berapa rupiah, nyatanya bagian kecil dari otak gue tau kalau semua ini harus dimaklumi. Beberapa waktu yang lalu (terima kasih kepada kehidupan politik Indonesia yang nggak berkontribusi positif terhadap kecerdasan bangsa dan kepada bangsanya juga yang memang nggak mampu untuk dikasih politik “cerdas”) kita jadi sering banget denger kata “hoax”. Nyatanya masih banyak orang Indonesia yang nggak bisa bedain mana berita bener dan berita boong. Nyatanya masih banyak orang Indonesia yang kemakan berita hoax dan akhirnya ribut-ribut sama strangers di internet. Lagi, se-denial gue dengan kenyataan kalau orang Indonesia gampang banget dibikin berantem sama berita provokatif, otak gue tau kalau semua ini harus dimaklumi. Jangankan memilah berita, nyari berita aja orang Indonesia males. Akibatnya banyak orang-orang yang memanfaatkan keignoranan netizen Indonesia dengan cara bikin “portal berita” nggak jelas dan nyebarin beritanya di Facebook atau di sosial media lainnya. Efektif, nggak? Banget. Buktinya berita-berita tersebut selalu viral dan comment sectionnya selalu seru dengan orang berantem. Yang lebih menyedihkan lagi adalah netizen Indonesia nggak sadar kalau mereka lagi dibodohin, tapi malah merasa fully informed dan dengan agresifnya mencoba untuk “enlighten” orang-orang yang memiliki opini bersebrangan dengan mereka karena mereka ngerasa paling bener. Indonesia, negara yang nggak tau kapan majunya. Kemaren gue dan beberapa temen membicarakan hal yang serupa, kebutaan masyarakat terhadap dunia maya dan ketidakmampuan mereka untuk keep up dengan kemajuan teknologi. Obrolan dimulai dengan gue yang mengeluhkan pertanyaan bodoh yang sering gue dapet di sosial media, dilanjutkan dengan banyak orang Indonesia yang masih nggak tau fungsinya e-mail (padahal kalau mau main sosmed harus pake e-mail ehm.), berlanjut ke fenomena Pokemon Go yang bikin abang-abang counter hape kebanjiran rezeki karena banyak orang yang minta mereka untuk download-in game nya di hape, berakhir dengan gimana netizen Indonesia menghadapi fake news yang sekarang beredar di mana-mana. A friend then came up with the idea of an app that can help users to sort out the news. Jadi, berita di app tersebut adalah berita yang udah terkonfirmasi kebenarannya dan berita yang bersumber dari portal berita legit semata. Gue cuma bisa ketawa. “Coy, gue ngerti keinginan lo nyuguhin mereka dengan berita legit. Tapi orang-orang itu nggak ada yang download app lo in the first place.“. Dikasih berita di depan muka aja yang dilihat cuma headlinenya. Boro-boro mau download app portal berita, boro-boro berinisiatif ngebandingin sama sumber berita yang lain, boro-boro berinisiatif cari sendiri berita benernya. It is sad but that, my friend, is the reality. Sekarang solusinya apa? Kalau lo bertanya ke gue apa solusinya, pertanyaannya sama membingungkannya dengan “gimana cara Kak Gita bisa berpikir kayak gini?“. Gue hanya bisa mengerutkan dahi dan bertanya dengan diri gue sendiri, “Bukannya semua orang punya otak, ya? Bukannya fungsi otak buat mikir, ya?”. Lalu apa solusinya? Bukannya udah ada di nature manusia untuk mencari solusinya sendiri, ya? Setiap kali gue berdiskusi tentang masalah ini ke Paul kami berdua selalu bertanya-tanya dan pertanyaan kami masih belum didapetin jawabannya. “Kenapa orang Indonesia nggak ada inisiatif bergerak sendiri seperti layaknya manusia normal dan nggak ada rasa ingin tau ketika mereka memiliki lubang-lubang informasi di otak mereka yang harus diisi? Kenapa mereka nggak tergerak untuk mencari tau ketika mereka sadar kalau ada banyak hal yang mereka nggak tau? Instead, hence the title of my post, masyarakat Indonesia ternyata harus selalu dituntun dan disuguhkan. Generasi kita adalah generasi tutorial. Masyarakat Indonesia ternyata harus dikasih ikan, karena mereka nggak tau caranya memancing. Wait, apa sebenernya orang Indonesia nggak sadar kalau mereka sebenernya banyak nggak tau? Kemaren malem sembari gue beres-beres dapur gue coba pikir-pikir lagi. Terus gue iseng nelfon Paul ngobrolin tentang macem-macem, dari debat calon gubernur DKI sampe celotehan gue dan temen-temen gue di sore harinya. Bukan mau mencari jawaban atas pertanyaan gue di atas, tapi sekedar pengen mengeluarkan uneg-uneg di kepala. Entah gimana thought processnya, tiba-tiba gue dilanda rasa sedih dan pesimis. Terlalu jauh sih gue loncat dari tema netizen Indo yang males cari berita ke permasalah ini. But I tend to overthink. That’s why. Sebenernya pikiran ini udah terlalu sering tiba-tiba muncul di kepala. Harusnya gue nggak menjadikan sedih dan pesimis ini sebagai reaksi lagi. Buat gue, nggak masuk akal negara yang begitu besar, yang level kesejahteraan dan pendidikannya terlalu timpang, yang kehidupan ekonominya masih terlalu terpusat di ibu kota, yang masih struggling sama urusan public transportation, harus mengadaptasi sistem yang ada sekarang. Sebenernya rakyat Indonesia belom siap buat memilih pemimpin buat mereka. Mereka belom siap buat jadi penonton permainan politik Indonesia. Gimana kita mau punya pemimpin yang beneran capable dan beneran pinter, kalau yang memilih aja gampang dibodohin sama berita palsu, gampang ditipu sama pencitraan klise, dan gampang diadu domba pake isu SARA. Rakyat Indonesia, disebabkan oleh kemalasannya sendiri, ketidakpeduliannya sendiri, dan keignorannya sendiri, cuma akan dijadiin korban. Media-media busuk yang nggak tau lagi caranya netral, politisi-politisi culas yang gampang aja pura-pura jadi domba padahal serigala, dan pejabat lain yang bilangnya pingin ngebenerin Indonesia padahal cuma pingin tahta, akan terus jadiin rakyat sebagai korban. Kita itu nggak sadar kalau kebodohan kita adalah boomerang yang berbalik. Generasi muda yang tau cara main sosial media dan bahkan bisa ngepoin orang kayak agen CIA, tapi nggak tau caranya meng-inform diri mereka sendiri, itu fatal banget. Kita lho yang nanti harus take over negara ini. Kalau kita aja segitu butanya dengan sekitar, cuma tau apa yang lagi nge-trend doang, cuma tau apa yang menghibur doang, cuma tau cara pake Instagram doang, tau cara nanya orang di Ask FM tapi nggak tau caranya googling, tau caranya posting foto lagi makan di restoran kece ke Instagram tapi nggak tau caranya baca berita–nggak tau caranya nyari berita, nonton YouTube cuma nonton vlog doang, cuma nonton makeup tutorial doang, mau pake jilbab aja harus lagi-lagi liat tutorial, cara belajar mesti liat tutorial, mencari motivasi kuliah aja harus minta cariin sama orang di Ask FM, Indonesia mau dibawa kemana? source : Artikel ini ditulis oleh Gita Savitri dan sebelumnya dipublikasikan di blog pribadinya. |